Meski Diguyur Hujan, Tradisi Dugderan Semarang Tetap Berlangsung Meriah
Meski Diguyur Hujan, Tradisi Dugderan Semarang Tetap Berlangsung Meriah
SEMARANG- Tradisi Dugderan kembali digelar oleh Pemerintah Kota Semarang pada Sabtu (09/03/2024) untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Upacara Dugderan merupakan cerminan dari masyarakat Semarang yang didominasi oleh etnis Jawa, Arab, dan Tionghoa. Nama Dugderan diambil dari kata "dug" yaitu bunyi bedug saat ditabuh dan "der" yaitu bunyi tembakan meriam. Menurut sejarah, acara ini telah diselenggarakan sejak tahun 1881 saat kepemimpinan Bupati Kanjeng Raden Mas Arya Adipati Purbaningrat.
Tahun ini upacara Dugderan diselenggarakan di halaman Balaikota Semarang, dengan tari tradisional Warak Ngendok sebagai pembukanya. Upacara pembukaan dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa yang menandakan telah dimulainya pawai budaya. Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum, menabuh bedug yang diikuti dengan persiapan pawai dari Balai kota menuju Masjid Agung Semarang.
Pawai budaya diikuti oleh 16 kecamatan di Kota Semarang dengan penampilan yang apik mulai dari pakaian khas hingga penampilan unik dari peserta pawai, membawa suasana meriah pada pawai tersebut. Meskipun hujan silih hadir di pusat Kota Semarang, antusiasme masyarakat untuk mengikuti rangkaian acara tidaklah surut. Masyarakat terus mengiringi pawai hingga tiba di Alun-alun Kauman dan melanjutkan kegiatan di Masjid Agung Semarang sekitar pukul 15.30 WIB.
Acara berlanjut di Masjid Agung Semarang dengan rangkaian kegiatan berupa penyerahan suhuf halaqah, pemukulan bedug, dan "andum" (pembagian) kue ganjel rel serta air khataman Al-Quran. Hal yang membedakan Dugderan tahun ini dengan tahun kemarin yaitu pada Dugderan kali ini "andum kue" juga diserahkan kepada masyarakat Tionghoa karena perayaannya berdekatan dengan Imlek sebagai bukti akulturasi budaya di Kota Semarang.